Jumat, 06 Desember 2013

Tangan-Tangan Kecil



Tangan-Tangan Kecil

          Ketika hampir setiap manusia berkostum putih abu-abu fokus dalam menghadapai pena yang harus terus bergerak mengisi kekosongan buku bertuliskan pelajaran di sekolah yang tak pernah berhujung diruang duduk berbahan kayu sebelum lonceng listrik berbunyi, yang tangan ini lakukan hanyalah menulis apa yang aku mau, rasakan dan aku alami secara alamiah dimana kebebasan didapat dengan kesenangan hati yang melukiskan lengkungan bulan sabit di sisi wajahku.
          Hingga jarum jam mengarah angka dua di dinding tepat dimana ribuan langkah kaki keluar dari pintu berbeda namun berlogo sama, sepasang sepatu yang terpasang di kaki ini membeku menjadi kaku tak beranjak dari nyamannya posisi yang tak mereka rasakan. Mau tak mau rongga perutku semakin melebar jaraknya hingga mengakibatkan ruang kosong tuk menimbulkan bunyi keroncong tak disangka, membangunkan sepasang sepatu yang sempat tertidur di siang hari.
          Saat datang sesi kanan menendang besi yang bisa membuat kuda tak bertulang ini menyala, hampa kurasa sesaat karena banyak orang meninggalkan tempat yang akan menjadi sejarah bagi masing-masing pribadi, secara terburu-buru menuju gerbang tak bertuan. Meski begitu dengan kecepatan yang sangat-sangat tak pelan maupun kencang dengan keadaan aspal menurun mereka yang terdepan masih sempat terkejar olehku.
          Saling sapa satu sama lain dilakukan dengan kerut wajah di atas namun senyum menghiasi hilangkan rasa lelah anak muda di sekolah.
“hai., aku duluan ya....” terkadang pengguna helm menyapa terlebih dahulu.
“ya.. hati-hati dijalannya, awas itu ban bulet. Hehe” Jawab para petualang trotoar yang menyempatkan candanya.
          Mesin mati pertanda sampainya aku dirumah yang indah ini, membuat tak sabar tuk membaringkan raga yang merasa berat akan beban tak bernyawa. Mata terpejam melepas beban menyentuh lelah hingga tak jarang air mata mengalir membasuhi pipiku yang gersang akan perbuatan jenuh.
          Namun saat kedua tanganku sedang memegang kepalaku dengan rasa nyaman. Teriakan kecil berbunyi nyaring menghampiri telingaku.
“ibu.. kakak sudah pulang ya? Aku mau main petak umpet lagi kayak kemarin.” Teriak tanda para bidadari kecilku mengajak bertemu, aku pun harus terbangun dari kenyamanan sesaat ini dan berdiri tegak dihadapan mereka yang selalu memegang erat tangan berukuran besar ini bagi jemari mereka yang kecil namun kekuatan mereka dalam menggenggam adalah kekuatan yang bernama kasih sayang dan keceriaan untukku.
          Bagiku mereka bagai musik instrumental yang sangat mudah tuk dinikmati meski tak berlirik, mereka bagai angin yang menyejukkan jiwa yang gerah dengan tuntutan dan merekalah salah satu masa depanku yang terukir dengan sendirinya dari cara mereka menyebutkan cita-cita hingga cara mereka mencapainya dengan jawaban polos penuh dengan hiasan. Dan merekalah hiasan pena yang ku curahkan di lembaran putih bersih yang harus ku temani dan ku awasi.
          Dengan predikat kakak yang tentunya mengharapkan adik-adiknya jauh lebih baik darinya serta seorang adik yang selalu mengharapkan kebijakan dari kasih sayang kakaknya dalam ungkapan tak berbunyi, sampai mereka mengerti luasnya arti kehidupan ini.
          Semua yang mereka ajarkan selalu ada maknanya bahkan dibalik sebuah pertanda yang sulit tuk dijangkau oleh panca indera.
          Senyum, canda, tawa, sedih, cemberut, menangis hingga marah. Ekspresi yang selalu ku lukiskan dalam tinta hitam bernada indah ditangan-tanganku, yang bermula dari genggaman tangan kecil mereka.
          “kakak.. kemari.. ayo cepat temukan aku...” suara yang selalu ku dengar saat mereka bersembunyi.
          Tak cukup di dalam rumah yang dijadikan pentas permainan oleh mereka. Tanganku kembali mereka tarik ke padang hijau berladangkan padi yang membuat angin lembut menyambut tubuh ini dengan terpaannya. Hangat namun sejuk merasuk kedalam memori kecil ini, bersama mereka Fika, Sophia dan Naura dikota berwarna senja ini Garut.
          Mereka membuatku ingat akan keceriaan, kegembiraan dan kesedihan alami anak-anak kecil. Selalu tersimpan dalam memoriku seperti jemari ini yang terus menemani pena menari di atas kertas putih dan tak akan hilang bagai tulisan yang selalu ku hapus dengan tujuan keindahan karya penuh makna.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar