Tangan-Tangan
Kecil
Ketika
hampir setiap manusia berkostum putih abu-abu fokus dalam menghadapai pena yang
harus terus bergerak mengisi kekosongan buku bertuliskan pelajaran di sekolah
yang tak pernah berhujung diruang duduk berbahan kayu sebelum lonceng listrik
berbunyi, yang tangan ini lakukan hanyalah menulis apa yang aku mau, rasakan
dan aku alami secara alamiah dimana kebebasan didapat dengan kesenangan hati
yang melukiskan lengkungan bulan sabit di sisi wajahku.
Hingga
jarum jam mengarah angka dua di dinding tepat dimana ribuan langkah kaki keluar
dari pintu berbeda namun berlogo sama, sepasang sepatu yang terpasang di kaki
ini membeku menjadi kaku tak beranjak dari nyamannya posisi yang tak mereka
rasakan. Mau tak mau rongga perutku semakin melebar jaraknya hingga
mengakibatkan ruang kosong tuk menimbulkan bunyi keroncong tak disangka,
membangunkan sepasang sepatu yang sempat tertidur di siang hari.
Saat
datang sesi kanan menendang besi yang bisa membuat kuda tak bertulang ini menyala,
hampa kurasa sesaat karena banyak orang meninggalkan tempat yang akan menjadi
sejarah bagi masing-masing pribadi, secara terburu-buru menuju gerbang tak
bertuan. Meski begitu dengan kecepatan yang sangat-sangat tak pelan maupun
kencang dengan keadaan aspal menurun mereka yang terdepan masih sempat terkejar
olehku.
Saling
sapa satu sama lain dilakukan dengan kerut wajah di atas namun senyum menghiasi
hilangkan rasa lelah anak muda di sekolah.
“hai., aku duluan ya....”
terkadang pengguna helm menyapa terlebih dahulu.
“ya.. hati-hati dijalannya, awas
itu ban bulet. Hehe” Jawab para petualang trotoar yang menyempatkan candanya.
Mesin
mati pertanda sampainya aku dirumah yang indah ini, membuat tak sabar tuk
membaringkan raga yang merasa berat akan beban tak bernyawa. Mata terpejam
melepas beban menyentuh lelah hingga tak jarang air mata mengalir membasuhi
pipiku yang gersang akan perbuatan jenuh.
Namun
saat kedua tanganku sedang memegang kepalaku dengan rasa nyaman. Teriakan kecil
berbunyi nyaring menghampiri telingaku.
“ibu.. kakak sudah pulang ya? Aku
mau main petak umpet lagi kayak kemarin.” Teriak tanda para bidadari kecilku
mengajak bertemu, aku pun harus terbangun dari kenyamanan sesaat ini dan
berdiri tegak dihadapan mereka yang selalu memegang erat tangan berukuran besar
ini bagi jemari mereka yang kecil namun kekuatan mereka dalam menggenggam
adalah kekuatan yang bernama kasih sayang dan keceriaan untukku.
Bagiku
mereka bagai musik instrumental yang sangat mudah tuk dinikmati meski tak
berlirik, mereka bagai angin yang menyejukkan jiwa yang gerah dengan tuntutan
dan merekalah salah satu masa depanku yang terukir dengan sendirinya dari cara
mereka menyebutkan cita-cita hingga cara mereka mencapainya dengan jawaban
polos penuh dengan hiasan. Dan merekalah hiasan pena yang ku curahkan di lembaran
putih bersih yang harus ku temani dan ku awasi.
Dengan
predikat kakak yang tentunya mengharapkan adik-adiknya jauh lebih baik darinya
serta seorang adik yang selalu mengharapkan kebijakan dari kasih sayang
kakaknya dalam ungkapan tak berbunyi, sampai mereka mengerti luasnya arti
kehidupan ini.
Semua
yang mereka ajarkan selalu ada maknanya bahkan dibalik sebuah pertanda yang
sulit tuk dijangkau oleh panca indera.
Senyum,
canda, tawa, sedih, cemberut, menangis hingga marah. Ekspresi yang selalu ku
lukiskan dalam tinta hitam bernada indah ditangan-tanganku, yang bermula dari
genggaman tangan kecil mereka.
“kakak..
kemari.. ayo cepat temukan aku...” suara yang selalu ku dengar saat mereka
bersembunyi.
Tak
cukup di dalam rumah yang dijadikan pentas permainan oleh mereka. Tanganku
kembali mereka tarik ke padang hijau berladangkan padi yang membuat angin
lembut menyambut tubuh ini dengan terpaannya. Hangat namun sejuk merasuk
kedalam memori kecil ini, bersama mereka Fika, Sophia dan Naura dikota berwarna
senja ini Garut.
Mereka
membuatku ingat akan keceriaan, kegembiraan dan kesedihan alami anak-anak kecil.
Selalu tersimpan dalam memoriku seperti jemari ini yang terus menemani pena
menari di atas kertas putih dan tak akan hilang bagai tulisan yang selalu ku
hapus dengan tujuan keindahan karya penuh makna.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar